Home » » Sistem Keyakinan dan Kepercayaan Di Bali

Sistem Keyakinan dan Kepercayaan Di Bali

Written By Unknown on Monday 22 April 2013 | 09:53



Jauh sebelum datangnya pengaruh Hindu ke daerah Nusantara, berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan para ilmuwan Barat dan putra Indonesia, di Indonesia telah mempunyai kebudayaan yang tinggi mutunya. Kebudayaan Indonesia asli yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu atau disebut pula Kebudayaan Pra-Hindu atau Pra Sejarah. Kebudayaan ini berakar pada kebudayaan bercocok tanam yang berlangsung pada tahun 2500 SM.
Guna kepentingan pemujaan arwah leluhur, pada masa perundagian masyarakat Indonesia mendirikan bangunan tempat pemujaan yang disebut punden berundak yaitu bentuk bangunan yang teras piramida dimana pada bagian atasnya ditempatkan: menhir. Pada perkembangan selanjutnya menhir sebagai lambang tempat pemujaan arwah leluhur digantikan dengan wujud arca sederhana atau ada yang menyebut arca primitif karena bentuknya memang sangat sederhana.
Beberapa ilmuwan Barat menyatakan pendapat yang sama seperti: Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali, 1937 menyatakan: The Balinese Assimilate New and Foreign Ideas Into Tradisional Form. Demikian pula Fritaz A Wagner, 1959 dalam bukunya Indonesia, The Art of an Island Group menyebutkan: On Bali Culture Develop a unique character, Pra Hindu, Hindu-Budha, Hindu Javanese element merged to form unity and diversity.
Menurut ilmuwan Perancis Dr. G. Cocdes yang ahli tentang sejarah kuna Asia Tenggara dalam bukunya The Indianized State in South East Asia , 1968 menyatakan ada beberapa elemen-elemen kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh Hindu adalah :
•  Penanaman padi dengan sistem pengairan.
•  Menjinakkan binatang, lembu dan kerbau.
•  Teknik menuang logam.
•  Kepandaian dalam pelayaran.
•  Sistem kekerabatan material.
•  Dibidang kepercayaan, percaya pada pemujaan roh leluhur.
•  Tempat sucinya berbentuk teras piramid dengan menhir di atasnya.
•  Sistem penguburan dengan memakai sarkofa dan tempayan.
•  Konsep cosmological dualisme yaitu gunung dan laut.
Dr. WF Stutterhiem dalam tulisannya yang berjudul Indian Influence in Old Balinese Art, 1935 menyatakan: “ The Balinese applaid the aquired knomledge from Indonesian order arrive at his own system”. Sebagai contoh kearifan lokal kebudayaan Bali pada aspek keagamaan adalah sistem pemujaan arwah leluhur yang dianut masyarakat pada masa megalitik melanjut terus setelah datangnya kebudayaan Hindu. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan antara pemujaan arwah leluhur (Hyang) yang disebut bhatara dan pemujaan Tuhan yang disebut Hyang Widhi Wasa atau Hyang Parama Kawi.

Demikian pula tempat-tempat pemujaan atau Pura, ada yang dikelompokkan untuk pemujaan roh suci leluhur (bhatara) disebut : Pura Dadia atau Paibon, Padharman dan untuk Hyang Widhi disebut Kahyangan Jagat seperti Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan. Di dalam pura ada bangunan suci tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi dibangun berdampingan yaitu Padmasana sebagai Singgasana Hyang Widhi dan Kemulan, Pajenengan sebagai tahta Ida Bhatara, leluhur suci.

Terjadinya hubungan antara kedua kebudayaan antara pra sejarah dan Hindu mewujudkan satu integrasi yang utuh antara tradisi, agama dan kebudayaan serta mewujudkan suatu konfigurasi nilai yang menjadi landasan dasar bagi pembentukan identitas manusia dan masyarakat Bali. Konfigurasi nilai dasar tersebut terdiri dari nilai-nilai solidaritas, estetis dan religius.
Kemudian datang pengaruh agama Hindu dengan filsafat-filsafatnya. Mengenai Sanggah Kemulan Rong Kalih dan Rong Tiga dapat saya ajak saudara ke bidang filsafat yaitu filsafat Sangkhya. Filsafat India ini yang merupakan filsafat dualistis datang juga ke Bali dengan ajaran Cetana dan Acetananya. Karena memang manusia Bali sudah mempunyai kearifan lokal pelajaran filsafat Sangkhya itu diolah sesuai dengan desa kala patra yaitu keadaan daya pikir manusia Bali yang menganut Siwaistis. Oleh karena keadaan Cetana dan Acetana diganti dengan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa Atma yang disebut Maya Siwa Tattwa.
Apabila Cetana dan Acetana terpisahkan akan lenyaplah alam semesta ini bagaikan impian yang lenyap mengikuti kesadaran yang bangun dari tidur. Cetana itu ada yang bersifat kuat, sedang dan kendor (lemah) maka menurut sifatnya dibagi atas tiga bagian masing-masing dengan nama: Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma atau Sanghyang Mayasiwa Tattwa.

Parama Siwa Tattwa
Parama Siwa Tattwa, menjadi sumber dari segala yang hidup, yang memenuhi luar dan dalam dari segala yang ada, baik yang nampak maupun yang tiada tampak. Dialah kesadaran yang tertinggi yang tiada terjamah oleh lupa yang sejati hidup Dialah yang disebut dengan nama Sanghyang Widhi. Dia kekal tiada berubah, tiada dilahirkan, tua maupun mati. Tiada awal dan tiada akhir. Oleh karena itu tidak dapat mendengar, merasa, melihat, maupun mencium dan berpikir. Benar-benar bersih sebab tiada terjamah rasa suka duka. Ia tiada termasuk ke dalam siklus utpatti, sthiti dan pralina yaitu lingkungan kelahiran, hidup dan mati. Tak dapat dihitung sebab tiada terbilang.

Sadasiwa Tattwa
Kesadaran tingkat kedua berada di bawah Parama Siwa, juga sama bersifat gaib, suci nirmala yang menjadi jiwa dari segala yang bernyawa. Dijunjung dan dimuliakan serta dipikirkan oleh para Wiku. Meskipun seolah-olah sama kegaiban dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Parama Siwa, namun ada hal-hal yang dapat membedakannya. Dia telah mulai terjamah oleh kebingungan. Tetapi kebingungan yang ada pada beliau itu adalah berupa kekuatan (sakti) yang dapat memenuhi apa yang dikehendaki. Apa yang dipikirkan dan dikehendaki pasti terwujud dalam seketika. Kekuatan yang dapat memenuhi segala kehendak itu disebut juga Cadu Sakti artinya memiliki empat kemahakuasaan yang disebut:
•  Dujana Sakti (memiliki pengamatan tembus, Batel tingal)
•  Wibhu Sakti (memiliki kekuatan yang gaib)
•  Prabhu Sakti (memiliki kekuatan terhadap alam semesta)
•  Kriya Sakti (mempunyai kekuatan membentuk diri sekehendak hati).

Siwatma Tattwa
Kesadaran ketiga di bawah Sada Siwa Tattwa, dinamai Sanghyang Siwatma, juga disebut Sanghyang Mayasiwa Tattwa. Siwatma Tattwa inilah dikatakan mulai tercemar oleh kelembutan dari Tattwa yang berada di bawah yang disebut Acetana, yang berarti lupa atau tak sadar. Kesadaran yang telah bercampur dengan lupa atau bingung. Tegasnya Sanghyang Siwatma Tattwa telah terjamah oleh Triguna (Satwa, Rajah, Tamah).

Kebingungan inilah yang menyebabkan beliau itu gelisah ingin mengadakan Tattwa disini yaitu Purusa Tattwa menurun hingga pada Panca Mahabhuta Tattwa. Perlu pula ditegaskan bahwa Sanghyang Siwa yang tiga itu yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma itu hakekatnya adalah tunggal, semua bersifat suci, dan bersih yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Yang menyebabkan seakan-akan ada perbedaan sebenarnya terletak pada pengaruh kesadaran itu saja.

Demikianlah halnya ketika Sanghyang Siwa itu, dengan kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau ini berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau itu berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau itulah yang kemudian terkena oleh Maya lalu bercampur. Itulah yang disebut Maya Siwa Tattwa. Kalau Cetana (Siwa Tattwa) bertemu dengan Acetana (Maya Tattwa) terjadilah Purusa Tattwa dan Pradana Tattwa.
Kembali pada pokok pembicaraan yaitu Rong Tiga dan Rong Kalih. Bagi arwah yang sudah masuk ke dalam Parama Siwa Tattwa maka beliau yang sudah bersthana di Ruang Tiga tidak lagi akan menitis atau menjadi bagian lagi dari keluarga asalnya.
Sedangkan Beliau yang baru ditingkat Sada Siwa Tattwa apalagi Maya Siwa Tattwa beliaulah yang bersthana di palinggih Ruang Kalih. Beliau masih berkomunikasi dengan warga yang ditinggal, beliau masih bisa “turun” (ngidih nasi) di keluarga-keluarga asalnya.
Tidak ada efeknya antara ngeroras metak atau ngeroras di bale atau upacara nista, madya dan utama sendiri. Yang menentukan adalah karma wasananya. Apakah harus tinggal di Maya Siwa Tattwa atau bisa terbebas ke Parama Siwa Tattwa. Kita bisa menentukan apakah leluhur kita itu bisa “turun” (ngidih nasi) pada keluarga kita atau tidak. Kalau tidak, artinya beliau sudah bersthana di Rong Tiga sudah menyatu dengan Purana Siwa. Memang ada rontal Gong Wesi sebagai berikut:

Yang distanakan di kemulan untuk dipuja bukanlah Dewa tetapi Pitara yang telah mencapai alam Dewa, oleh karena itu disebut Dewa Pitara. Fungsi Merajan Kemulan sebagai tempat Sang Hyang Atma disebutkan dalam beberapa lontar sebagai berikut :
……. ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen Bapanta nga Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga …..
artinya:
……namanya beliau Sang Atma, pada Kemulan kanan sebagai Bapa adalah Paratma, pada Kemulan kiri sebagai ibu namanya Siwatma, pada Kemulan tengah wujudnya adalah sang atma, menjadi ibu bapa pada wujudnya Sanghyang Tunggal mempersatukan diri.

Penjelasan yang hampir sama disebutkan pada Lontar Usana Dewa sebagai berikut:
Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya:
Pada kemulan nama Beliau adalah Sang Hyang atma, di Kemulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berwujud Sang Hyang Tuduh.
SUMBER : (Majalah Sarad Bali – edisi Juni 2008).
Share this article :

1 comments:

  1. selamat malam pak
    aku ingin bertanya tentang:
    1. sistem religi bali di masa pra klasik?
    2. sistem religi bali di masa klasik?
    3. sistem religi bali di masa pasca klasik?

    email: angga.scout@ymail.com

    ReplyDelete



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. My Life in Bali - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger